A.
DINAMIKA AKTUALISASI
PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
Kerangka Teoritik
Alfred North Whitehead
(1864 – 1947), tokoh utama filsafat proses, berpandangan bahwa semua realitas
dalam alam mengalami proses atau perubahan, yaitu kemajuan, kreatif dan baru.
Realitas itu dinamik dan suatu proses yang terus menerus “menjadi”, walaupun
unsur permanensi realitas dan identitas diri dalam perubahan tidak boleh diabaikan.
Masalahnya,bagaimanakah nilai-nilai Pancasila itu diaktualisasikan dalam
praktik kehidupan berbangsa dan bernegara ? dan, unsur nilai Pancasila manakah
yang mesti harus kita pertahankan tanpa mengenal perubahan ? Moerdiono
(1995/1996) menunjukkan adanya 3 tataran nilai dalam ideologi Pancasila. Tiga
tataran nilai itu adalah:
Pertama, nilai dasar yaitu
suatu nilai yang bersifat amat abstrak dan tetap. Nilai dasar merupakan
prinsip, yang tidak terikat oleh waktu dan tempat, dengan kandungan kebenaran
yang bagaikan aksioma. Dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar berkenaan
dengan eksistensi sesuatu yang mencakup
cita-cita, tujuan, tatanan dasar dan ciri khasnya. Nilai dasar Pancasila tumbuh
baik dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yang telah
menyengsarakan rakyat, maupun dari cita-cita yang ditanamkan dalam agama dan
tradisi tentang suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan kebersamaan,
persatuan dan kesatuan seluruh warga masyarakat.
Kedua, nilai instrumental,
yaitu suatu nilai yang bersifat kontekstual. yang merupakan arahan kinerjanya
untuk kurun waktu tertentu dan untuk kondisi tertentu. Nilai instrumental ini
dapat dan bahkan harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Namun haruslah
mengacu pada nilai dasar yang dijabarkannya. Penjabaran itu bisa dilakukan
secara kreatif dan dinamik dalam bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat
yang sama, dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh nilai dasar itu.Dari
kandungan nilainya, maka nilai instrumental merupakan kebijaksanaan, strategi,
organisasi, sistem, rencana, program, bahkan juga proyek-proyek yang
menindaklanjuti nilai dasar tersebut. Lembaga negara yang berwenang menyusun
nilai instrumental ini adalah MPR, Presiden, dan DPR.
Ketiga, nilai praksis,
yaitu nilai yang terkandung dalam kenyataan sehari-hari, berupa cara bagaimana
rakyat melaksanakan (mengaktualisasikan) nilai Pancasila. Nilai praksis
terdapat pada demikian banyak wujud penerapan nilai-nilai Pancasila, baik
secara tertulis maupun tidak tertulis, baik oleh cabang eksekutif, legislatif,
maupun yudikatif, oleh organisasi kekuatan social politik, oleh organisasi
kemasyarakatan, oleh badan-badan ekonomi, oleh pimpinan kemasyarakatan. Dari
segi kandungan nilainya, nilai praksis merupakan gelanggang pertarungan antara
idealisme dan realitas. pada nilai praksislah ditentukan tegak atau tidaknya
nilai dasar dan nilai instrumental itu. Ringkasnya bukan pada rumusan abstrak,
dan bukan juga pada kebijaksanaan, strategi, rencana, program atau proyek itu
sendiri terletak batu ujian terakhir dari nilai yang dianut, tetapi pada
kualitas pelaksanaannya di lapangan.
Suatu ideologi adalah
menjaga konsistensi antara nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai
praksisnya. Sudah barang tentu jika konsistensi ketiga nilai itu dapat ditegakkan,
maka terhadap ideologi itu tidak akan ada masalah. Pancasila menjadi
sifat-sifat dari subjek kelompok dan individual, sehingga menjiwai semua
tingkah laku dalam lingkungan praksisnya dalam bidang kenegaraan, politik, dan
pribadi. Driyarkara menjelaskan proses pelaksanaan ideologi Pancasila, dengan
gambaran gerak transformasi Pancasila formal sebagai kategori tematis (berupa
konsep, teori) menjadi kategori imperatif (berupa norma-norma) dan kategori
operatif (berupa praktik hidup). Proses tranformasi berjalan tanpa masalah
apabila tidak terjadi deviasi atau penyimpangan, yang berupa pengurangan,
penambahan,dan penggantian . nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
merupakan nilai-nilai yang dicita-citakan dan ingin diwujudkan.Masalah aktualisasi
nilai-nilai dasar ideologi Pancasila ke dalam kehidupan praksis kemasyarakatan
dan kenegaraan bukanlah masalah yang sederhana.
Perubahan dan Kebaharuan
Pembaharuan dan perubahan
bukanlah melulu bersumber dari satu sisi saja, yaitu akibat yang timbul dari
dalam, melainkan bisa terjadi karena pengaruh dari luar. Terjadinya proses perubahan
(dinamika) dalam aktualisasi nilai Pancasila tidaklah semata-mata disebabkan kemampuan
dari dalam (potensi) dari Pancasila itu sendiri, melainkan suatu peristiwa yang
terkait atau berrelasi dengan realitas yang lain. Dinamika aktualisasi
Pancasila bersumber pada aktivitas di dalam menyerap atau menerima dan
menyingkirkan atau menolak nilai-nilai atau unsur-unsur dari luar (asing).
Contoh paling jelas dari terjadinya perubahan transformatif dalam aktualisasi
nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, adalah empat
kali amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan MPR pada tahun 1999, 2000, 2001,
dan tahun 2002.Dewasa ini, akibat kemajuan ilmu dan teknologi, khususnya teknologi
komunikasi, terjadilah perubahan pola hidup masyarakat yang begitu cepat. Tidak
satupun bangsa dan negara mampu mengisolir diri dan menutup rapat dari pengaruh
budaya asing. Demikian juga terhadap masalah ideologi.Dalam kaitan imi, M.Habib
Mustopo (1992: 11 -12) menyatakan, bahwa pergeseran dan perubahan nilai-nilai
akan menimbulkan kebimbangan, terutama didukung oleh kenyataan masuknya arus
budaya asing dengan berbagai aspeknya.
Prof. Notonagoro telah
menemukan cara untuk memanfaatkan pengaruh dari luar tersebut, yaitu secara
eklektif mengambil ilmu pengetahuan dan ajaran kefilsafatan dari luar,tetapi
dengan melepaskan diri dari sistem filsafat yang bersangkutan dan selanjutnya
diinkorporasikan dalam
struktur filsafat Pancasila. Dengan demikian, terhadap pengaruh baru dari luar,
maka Pancasila bersifat terbuka dengan syarat dilepaskan dari sistem
filsafatnya, kemudian dijadikan unsur yang serangkai dan memperkaya struktur
filsafat Pancasila (Sri Soeprapto, 1995: 34). Sepaham dengan Notonagoro,
Dibyasuharda (1990: 229) mengkualifikasikan Pancasila sebagai struktur atau
sistem yang terbuka dinamik, yang dapat menggarap apa yang datang dari luar,
dalam arti luas, menjadi miliknya tanpa mengubah identitasnya, malah mempunyai
daya ke luar, mempengaruhi dan mengkreasi.
Dinamika Pancasila
dimungkinkan apabila ada daya refleksi yang mendalam dan keterbukaan yang
matang untuk menyerap, menghargai, dan memilih nilai-nilai hidup yang tepat dan
baik untuk menjadi pandangan hidup bangsa bagi kelestarian hidupnya di masa
mendatang. Sedangkan penerapan atau penolakan terhadap nilai-nilai budaya luar
tersebut berdasar pada relevansinya. Dalam konteks hubungan internasional dan
pengembangan ideologi, bukan hanya Pancasila yang menyerap atau dipengaruhi
oleh nilai-nilai asing, namun nilai-nilai Pancasila bisa ditawarkan dan
berpengaruh, serta menyokong kepada kebudayaan atau ideologi lain.
Konsekuensinya,bahwa
Pancasila harus bersifat terbuka. Artinya, peka terhadap perubahan yang terjadi
dalam kehidupan manusia dan tidak menutup diri terhadap nilai dan pemikiran
dari luar yang memang diakui menunjukkan arti dan makna yang positif bagi pembinaan
budaya bangsa, sehingga dengan demikian menganggap proses akulturasi sebagai
gejala wajar. Dengan begitu ideology Pancasila akan menunjukkan sifatnya yang
dinamik, yaitu memiliki kesediaan untuk mengadakan pembaharuan yang berguna
bagi perkembangan pribadi manusia dan masyarakat.
Dinamika dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila
ke dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan benegara adalah suatu
keniscayaan, agar Pancasila tetap selalu relevan dalam fungsinya memberikan
pedoman bagi pengambilan kebijaksanaan dan pemecahan masalah dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Agar loyalitas warga masyarakat dan warganegara
terhadap Pancasila tetap tinggi. Di lain pihak, apatisme dan resistensi
terhadap Pancasila bisa diminimalisir. Substansi dari adanya dinamika dalam
aktualisasi nilai Pancasila dalam kehidupan praksis adalah selalu terjadinya
perubahan dan pembaharuan dalam mentransformasikan nilai Pancasila ke dalam
norma dan praktik hidup dengan menjaga konsistensi, relevansi, dan
kontekstualisasinya. Sedangkan perubahan dan pembaharuan yang berkesinambungan
terjadi apabila ada dinamika internal (self-renewal) dan penyerapan terhadap
nilai-nilai asing yang relevan untuk pengembangan dan penggayaan ideologi
Pancasila.Muara dari semua upaya perubahan dan pembaharuan dalam
mengaktualisasikan nilai Pancasila adalah terjaganya akseptabilitas dan
kredibilitas Pancasila oleh warganegara dan wargamasyarakat Indonesia.
Makna Pancasila Sebagai Dasar Negara
Pancasila sebagai dasar
negara sering disebut dasar falsafah negara (dasar filsafat
negara/philosophische grondslag) dari negara, ideologi negara (staatsidee). Dalam
hal ini Pancasila dipergunakan sebagai dasar mengatur pemerintahan negara.
Dengan kata lain, Pancasila digunakan sebagai dasar untuk mengatur
penyelenggaraan negara.
Sebagai dasar negara Pancasila dipergunakan untuk mengatur seluruh tatanan kehidupan bangsa
dan negara Indonesia, artinya segala sesuatu yang berhubungan dengan
pelaksanaan sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan RepublikIndonesia (NKRI)
harus berdasarkan Pancasila. Hal ini berarti juga bahwa semua peraturan yang
berlaku di negara Republik Indonesia harus bersumberkan kepada Pancasila.
Pengertian pancasila
sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat pembukaan UUD 1945 dan
sebagaimana tertuang dalam Momerandum DPR-GR 9 juni 1966 yang menandaskan
pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah di murnikan dan di padatkan
oleh PPKI atas nama rakyat indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia.
Memorandum DPR-GR disahkan pula oleh MPRS dengan ketetapan No.XX/MPRS/1966.
Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 yang menegaskan
kedudukan pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari
tertip hukum di Indonesia.
Pancasila sebagai dasar negara, artinya Pancasila dijadikan sebagai dasar untuk mengatur
penyelenggaraan pemerintahan negara. Pancasila menurut Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 merupakan
"sumber hukum dasar nasional".
Dalam kedudukannya sebagai dasar negara maka Pancasila berfungsi
sebagai
1.
sumber dari segala sumber
hokum (sumber tertib hukum) Indonesia. Dengan demikian Pancasila merupakan asas
kerohanian tertib hukum Indonesia;
2.
suasana kebatinan
(geistlichenhinterground) dari UUD;
3.
cita-cita hukum bagi hukum
dasar negara;
4.
norma-norma yang
mengharuskan UUD mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain
penyelenggara negara memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur;
5.
sumber semangat bagi UUD
1945, penyelenggara negara, pelaksana pemerintahan. MPR dengan Ketetapan No. XVIIV MPR/1998 telah
mengembalikan kedudukan Pancasila sebagai dasar negara RI
Penetapan pancasila sebagai dasar negara itu memberikan pengertian
bahwa negara Indonesia adalah negara pancasila. Hal tu mengandung arti bahwa
harus tunduk kepadanya, membela dan melaksanakan dalam seluruh
perundang-undangan. Mengenai hal itu, pandangan tersebut melukiskan pancasila
secara integral (utuh dan menyeluruh) sehingga merupakan penopang yang kokoh
terhadap negara yang didirikan di atasnya, dipertahankan dan dikembangkan
dengan tujuan untuk melndungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi
semua warga bangsa Indonesia. Pancasila seperti yang tertuang dalam pembukaan
UUD 1945 dan ditegaskan keseragaman sistematkanya melalui Intruksi
Presiden No. 12 Tahun 1968 itu tersusun secara hirarkis-piramidal.
“Setiap sila (dasar/azaz) memiliki hubungan yang saling mengikat dan menjiwai satu
sama lain sedemikian rupa hingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Melanggar satu
sila dan mencari pembenaran pada sila lainnya adalah tindakan yang sia-sia” .
oleh karena itu, pancasila pun harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat
dan utuh, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Usaha memisah-misahkan sila-sila
dalam kesatuan yang utuh dari pancasila akan menyebabkan Pancasila kehilangan
eksistensinya sebaga dasar negara.
Penghayatan
Pancasila
Untuk menuju pada
pengertian penghayatan, maka perlu kiranya diketauhi pengertian menghayati
dahulu. Pengertian menghayati merupakan satu (suatu) pengertian yang didalamnya
terkandung unsur-unsur pengetahuan, kesadaran, ketaatan, kemampuan, serta
pengamalan. Penghayatan adalah keadaan kemasakan jiwa (kejiwaan), jadi bukan
soal akal saja.
Adapun menghayati pancasila berarti kita telah
memiliki pengetahuan tentang pancasila dengan sebaik baiknya termasuk pembukaan
undang-undang dasar 1945, juga tentang undang-undang dasar 1945.
Mengenai pengetahuan itu
seharusnya berupa pengertian yang jalas tentang kebenaranya, yang selanjutnya
harus dapat diresapkan dalam pikiran, sehingga tumbuh rasa kesadaran kita untuk
menerimanya dan selalu ingat setia kepada pancasila, termasuk pembukaan dan
undang-undang dasar 1945.
Dengan didorong oleh rasa
kesadaran inilah yang didasari oleh pengetahuan atau pengertian yang
sebaik-baiknya serta jelas tentang kebenaran tadi, mampulah kita untuk
mengembangkan serta mengamalkan pancasila dengan sebaik-baiknya. Bilamana
penghayatan pancasila ini dapat dikembangkan secara terus menerus, akan
lahirlah mentalitas pancasila, sehingga dapat mewujudkan kesatuan cipta, rasa,
karsa dan karya dalam mengemban hak dan kewajiban atas dasar nilai-nilai
pancasila dalam kehidupan bermasyrakat. Hasilnya akan dapat mewujudkan manusia
pancasila, bangsa pancasila, Negara pancasila, masyarakat pancasila, sejahtera,
bahagia jasmaniah rokhaniah, sesuai dengan kepribadian manusia dan bangsa
Indonesia.
Dengan demikian jelaslah bahwa apa yang menjadi titik tolak penghayatan
pancasila adalah kemauan serta kemampuan manusia Indonesia itu di dalam
mengendalikan dirinya serta kepentinganya agar dapat memenuhi kewajiban menjadi
warga Negara yang baik.
Pancasila tidak berpihak
atau pun menyudutkan siapa pun secara ras, agama, suku, dan budaya apa pun,
maka dari itu pancasila bisa diterima semua rakyat Indonesia sebagai dasar
negara.Moerdiono (1995/1996) menunjukkan adanya 3 tataran nilai dalam ideologi
Pancasila. Tiga tataran nilai itu adalah: Pertama, nilai dasar,
yaitu suatu nilai yang bersifat abstrak dan tetap, yang terlepas dari pengaruh
perubahan waktu.Nilai dasar merupakan prinsip, yang bersifat abstrak, bersifat
umum, tidak terikat oleh waktu dan tempat, dengan kandungan kebenaran yang
bagaikan aksioma
B.
DINAMIKA
PELAKSANAAN UUD 1945
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945, adalah
Badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Pada masa sidang pertama yang
berlangsung dari tanggal 28 Mei sampai dengan tanggal 1 Juni 1945 Ir.Sukarno
menyampaikan gagasan tentang "Dasar Negara" yang diberi nama
Pancasila. Kemudian BPUPKI membentuk Panitia Kecil yang terdiri dari 8 orang
untuk menyempurnakan rumusan Dasar Negara. Pada tanggal 22 Juni 1945, 38
anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk
merancang Piagam Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Setelah
dihilangkannya anak kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariah Islam
bagi pemeluk-pemeluknya" maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah
Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus
1945. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Nama Badan ini tanpa kata
"Indonesia" karena hanya diperuntukkan untuk tanah Jawa saja. Di
Sumatera ada BPUPK untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal 10-17 Juli 1945.
Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia.
1.
Masa Awal Kemerdekaan
Undang-Undang Dasar ini disahkan pada sidang PPKI sehari setelah
Indonesia merdeka yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945.Undag-Undang Dasar ini
terdiri atas Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh yang mencakup 37 Pasal 4 Aturan
Peralihan atau Peraturan Tambahanserta penjelasan yang dibuat oleh Prof.
Mr.Soepomo (Sunoto, 1985: 35). Pada awal kemerdekaan UUD 1945 tidak dilaksanakan
dengan baik karena kondisi Indonesia dalam suasana mempertahankan kemerdekaan.
Sedang mengenai keadaan pemerintahnya sebagai berikut:
Ø Pasal 4 Aturan Peralihan UUD 1945berlaku yaitu sebelum MPR, DPR dan
DPA dibantu oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Ø Sistem kabinetnya, Kabinet Presidensil dimana para menteri
bertanggung jawab pada presiden bukan pada DPR.
Ø Dikeluarkannya Maklumat No. X pada tanggal 16 Oktober 1945, yang
merubah kedudukan KNIP yang tadinya sebagai pembantu Presiden menjadi badan legislatif(DPR).
Ø Dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 yang
merubah kabinet presidensil menjadi parlementer, ini berarti menyimpang dari
UUD 1945.sistem kabinet ini diikuti dengan Demokrasi Liberal.
Akibat dari kondisi diatas
menimbulkan, pemerintah tidak stabil seiring pergantian kabinet, Terjadinya
pemberontakaan PKI Madiun, karena keadaan genting maka kabinet kembali ke
presidensil lagi, diadakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) sehingga Indonesia
harus menerima berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS).
2.
Konstitusi
RIS
Hasil dari KMB pada 27
Desember 1945 mengharuskan pada Indonesia untuk menerima berdirinya negara RIS.
Secara otomatis UUD yang digunakan pun berganti, dan yang digunakan adalah
Konstitusi RIS. Pada masa ini seluruh wilayah Indonesia tunduk pada Konstitusi
RIS. Sedangkan UUD 1945 hanya berlaku untuk negara bagian Indonesia yang
meliputi sebagian jawa dan sumatra dengan ibukota Yogyakarta. Sistem
pemerintahannya adalah Parlementer yang berdasarkan Demokrasi Liberal. Negara
Federasi RIS tidak berlangsung lama. Berkat kesadaran para pemimpin kita maka
pada tanggal 17 Agustus 1950 RIS kembali lagi menjadi NKRI dengan Undang-Undang
yang lain yang disebut Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
3.
Undang-Undang
Dasar Sementara
Sejak terbentuknya Negara Republik Indonesia
Serikat dibawah konstitusi RIS 1949 pada tanggal 27 Desember 1949, maka semakin
kuatlah perjuangan bangsa Indonesia menentang susunan negara yang dianggap
sebagai bentukan Belanda dan semakin kuat pula tuntutan untuk kembali kepada
bentuk yang unitaristis, maka pada tanggal 17 Agustus 1950 negara RIS
sepenuhnya kembali menjadi negara RI dengan UUDS sebagai konstitusinya.
Dalam rangka memenuhi tugas yang diamanatkan oleh
UUDS 1950, maka diselenggarakanlah pemilu untuk memilih anggota Majelis
Pembentuk UUD Negara Republik Indonesia yang kemudian disebut Konstituante yang
dilantik pada 10 november 1956 (Purastuti,2002:41).
Konstituante bersidang di Bandung pada Februari
1959 telah menghasilkan butir-butir materi yang disusun menjadi materi UUD
Negara namun pada akhirnya gagal mencapai kata mufakat. Denagn berasar pada kegagalan Konstituante
itulah melatarbelakangi aksi Presiden Soekarno dengan mengelurkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 yang didalamnya berisikan :
a.
Pembubaran Kontituante
b.
Menetapkan UUD 1945
berlaku kembali mulai saat tanggal dekrit dan menyatakan UUDS 1950 tidak
diberlakukan
c.
Pembentukan MPRS
4. Masa Orde Lama
Negara
Indonesia berdasarkan UUD 1945 dimulai sejak adanya Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Masa ini yang di sebut masa Orde Lama. Dalam masa ini dikenal sebagai
periode pemerintahan yang ditandai dengan berbagai penyimpangan terhadap
Pancasila dan UUD 1945. Berbagai penyimpangan-penyimpangan UUD 1945 itu yang
paling menonjol antara lain :
Ø
Presiden mengangkat Ketua
dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi menteri negara.
Ø
MPRS menetapkan Soekarno
sebagai Presiden seumur hidup.
Ø
Presiden mengeluarkan
produk hokum yang setingkat Undang-Undang tanpa persetujuan DPR.
Ø
Ikut
campur Presiden dalam system pemerintahan yang cenderung otoriter.
Ø
Besarnya pengaruh PKI yang
mengakibatkan Ideologi Nasakom yang mencoba menggantikan Ideologi Pancasila.
Masa Orde Lama berakhir dengan ditandai dengan
adanya pemberontakan G30 S PKI yang kemudian melahirkan Tritura yang berisikan
tiga tuntutan rakyat yaitu bubarkan PKI, bersihkan cabinet dari unsur PKI, dan
turunkan harga. Akibat dari kekacauan yang melanda negeri, maka Presiden
Soekarno akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret(SUPERSEMAR)
kepada Letjen Soeharto yang kemudian Letjen Soeharto mengeluarkan Keppres No
I/3/1966 tanggal 12 Maret 1966 yang mengatur tentang pembubaran PKI.
5. Masa Orde Baru
Pada hakekatnya UUD 1945 pada masa ini digunakan
untuk membantu mensukseskan pembangunan nasional yang menjadi tekad dari
pemerintahan Orde Baru. Langkah awal yang ditempuh oleh Pemerintah Orde Baru
adalah memperbaiki penyimpangan-penyimpangan terhadap pelaksanaan UUD 1945 dan
Pancasila pada periode 1959-1965 yaitu dengan mengeluarkan TAP MPRS
No.XX/MPRS/1966. Selain itu MPRS juga mengeluarkan ketetapan lain diantaranya:
Ø
TAP No.XII/MPRS/1966
tentang instruksi kepada Soeharto agar segera membentuk kabinet Ampera.
Ø
TAP No.XVII/MPRS/1966
tentang penarikan kembali pengangkatan pemimpin besar revolusi menjadi Presiden
seumur hidup.
Ø
TAP No.XXI/MPRS/1966
tentang penyederhanaan kepartaian, keormasan, dan kekaryaan.
Ø
TAP No.XXV/MPRS/1966
tentang pembubaran PKI.
Ø
TAP No.XV/MPRS/1966
tentang pemilihan atau penunjukan Wakil Presiden dan mengangkat Soeharto
sebagai Presiden.
Pemerintahan di bawah kepemimpinan Soeharto
berkomitmen untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Untuk memilih anggota-anggota Badan Permusyawaratan dan Perwakilan
Rakyat dilaksanakan Pemilu tahun 1971 dengan didasari Undang-undang No. 15
tahun 1969. Pemilu ini Berhasil mengubah fungsi dan kedudukan lembaga negara
menjadi tetap tidak lagi bersifat sementara. Dalam mengantisipasi konflik
ideologis Pemerintah Soeharto membangun suatu konsep baru demokrasi yang diberi
nama Demokrasi Pancasila. Masa ini akhirnya harus tenggelam pula dengan adanya
krisis moneter yang mengakibatkan hilangnya simpati rakyat terhadap
pemerintahan.
6. Masa Reformasi
Pada masa ini sering terjadi pergantian
kepemimpinan dalam pemerintah. Tercatat pada masa ini terdapat empat kali
pergantian Presiden yaitu BJ Habibie, Abdurahman Wahid, dan Megawati
Soekarnoputri. Yang paling terasa pada pelaksanaan UUD 1945 pada masa ini
terutama pada masa Presiden Megawati adalah terjadi perubahan-perubahan pada
batang tubuh UUD 1945 atau yang akrab kita dengar denagn istilah amandemen.
Tujuannya adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan
rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum,
serta hal-hal lain yang sesuai denagn perkembangan aspirasi dan kebutuhan
bangsa. Tercatat telah terjadi empat kali Amandemen UUD 1945 selama kurun waktu
1999-2002 diantaranya:
Ø
Sidang Umum MPR, tanggal
14-21 Oktober 1999® Perubahan Pertama
Ø
Sidang Tahunan MPR,
tanggal 7-21 Agustus 2000® Perubahan Kedua
Ø
Sidang Tahunan MPR,
tanggal 1-9 November 2001®Perubahan Ketiga
Ø
Sidang Tahunan MPR,
tanggal 1-11 Agustus 2002®Perubahan Keempat
C. ANALISIS KASUS SIDANG DPR MENGENAI PILKADA
Selain UU MD3 yang telah disahkan pada 8 Juli 2014, saat ini ada RUU
yang juga cukup menyita perhatian publik, yaitu RUU Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) yang rencananya akan disahkan pada Paripurna DPR RI 25 September 2014
mendatang. Perdebatan sentralnya adalah Pilkada Langsung dan Pilkada Tidak Langsung
via DPRD. Untuk membedahnya, kita akan membahasnya dari segi sejarah
pembentukan, konstitusi, konfigurasi politik dan perkembangan demokrasi.
1. Sejarah Lahirnya RUU Pemilihan Kepala
Daerah
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebelumnya diatur dalam UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Mengingat ada banyak pasal yang diatur
khusus mengenai mekanisme Pilkada yakni 63 Pasal (Pasal 56 – Pasal 119), maka
dalam revisinya, Pilkada ini dipisahkan dari UU Pemda. Dalam Prolegnas sejak
tahun 2011 sudah dimasukkan dengan No. 42, Prolegnas tahun 2012 No. 52,
Prolegnas tahun 2013 No. 3, Prolegnas tahun 2014 No. 3. Ini artinya sudah 4
tahun RUU ini dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional dimana RUU disiapkan
pemerintah selama 2 tahun, kemudian dibahas bersama di DPR selama 2 tahun.
Sehingga dari sisi waktu memang sudah waktunya untuk segera disahkan.
Pilkada secara langsung sejak 1 Juni 2005 telah melahirkan beberapa
yang menyebabkan pemerintah mengusulkan Revisi RUU Pilkada, antara lain[22]:
Ø
Pilkada langsung
dibeberapa tempat melahirkan konflik horizontal antara sesama masyarakat.
Benturan masyarakat ini tentu menjadi keprihatinan yang mendalam, karena
ketidaksiapan menang atau kalah.
Ø
Pilkada langsung secara
biaya cukup menyedot anggaran, baik pusat maupun daerah.
Ø
Berdasarkan data dari
Mahkamah Konstitusi, disetiap Pilkada langsung, dipastikan akan gugatan
sengketa Pemilukada ke MK, termasuk juga ketika sengketa Pilkada di Mahkamah
Agung.
Ø
Sering terjadinya kecurangan yang terstruktur,
sistematis dan massif khususnya dalam bentuk money politik dan vote
buying, sehingga memberikan pelajaran demokrasi yang buruk pada masyarakat.
Ø
Terjadinya politisasi
birokrasi pemerintahan daerah.
Ø
Penegakan hukum dank ode
etik tidak berjalan.
Ø
Partisipasi pemilih yang
rendah (rata-rata dibawah 70%).
Ø
Banyak kepala daerah
terjerat korupsi.
Ø
Kepala daerah tidak akur dengan wakil kepala
daerah.
Ø
Kepemimpimpinan lemah,
manajemen rendah, dan birokrasi amburadul, serta terjadi politik transaksional
dalam menjalankan roda pemerintahan.
Ø
Pemerintah tidak efektif.
Atas pertimbangan tersebut, maka Pemerintah sebagai pihak yang
diberi tugas menyiapkan Drat RUU Pilkada melakukan langkah memberi usulan
revoluioner berupa mengubah Pilkada langsung menjadi Pilkada tidak langsung via
DPRD.
2. Perspektif Konstitusi terhadap Pemilihan
Kepala Daerah.
Dalam UUD NRI Tahun 1945, Pasal 18 Ayat (4) disebutkan kepala daerah
dipilih secara demokratis. Untuk memahaminya, maka salah satu caranya adalah
dengan membukaoriginal intent Perubahan UUD NRI Tahun 1945. Untuk
melihat hal tersebut, dapat dilihat dalam Risalah Pembahasan UUD 1945, yang
dapat diunduh lewatwww.mahkamahkonstitusi.go.id tentang Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil
Pembahasan 1999-2002, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara Jilid 2. Dalam
risalah tersebut khususnya Bab V (hlm. 1107-1432) diulas secara khusus
pembahasan Perubahan UUD 1945 mengenai Pemerintahan Daerah.
Kemudian Pataniari Siahaan dari F-PDIP megusulkan agar kepala daerah
“… dipilih secara demokratis sebagaimana diatur undang-undang. Jadi
demokratisnya bukan oleh rakyat”. Atas
beberapa pendapat tersebut, Prof Bagir Manan menyerahkan kepada anggota rapat,
apakah dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih secara demokratis. Pada
akhirnya draft yang disepakati dan dibawa ke Rapat Paripurna ke-9, 18 Agustus
2000 adalah Pemilihan kepala daerah dipilih secara demokratis.
Hamdan Zoelva, memberikan pandangan terdapat dua prinsip yang
terkandung dalam rumusan “kepala daerah dipilih secara demokratis”, yaitu pertama: kepala
daerah harus “dipilih”, tidak dimungkinkan untuk langsung diangkat. Kedua, pemilihan
dilakukan secara demokratis, maknanya tidak harus dipilih langsung oleh rakyat,
akan tetapi dapat juga bermakna dipilih oleh DPRD yang anggota-anggotanya juga hasil
pemilihan demokratis melalui Pemilu.
Atas pertimbangan tersebut, maka klausul pemilihan kepala daerah
dipilih secara demokratis memiliki makna harus adanya proses pemilihan yang
dapat langsung oleh rakyat dan dapat juga melalui DPRD. Untuk itu, klausul ini
disebut sebagai open legal policy secara konstitusi. Kedua
opsi yang sedang diperdebatkan dalam draft RUU Pilkada saat ini sama-sama
konstitusional.
3. Perspektif Konfigurasi Politik
Konfigurasi Politik di DPR sangat berpengaruh dalam pembahasan RUU Pilkada.
Pada tahun 2012 ketika draft RUU Pilkada dimasukkan Pemerintah ke DPR,
klausulnya pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Klausul tersebut didukung
mayoritas partai politik dengan jumlah kursi besar seperti Partai Demokrat,
Partai Golkar, dan PKB. Sementara itu, PKS karena jumlah kursinya tidak besar
menolak usulan Pilkada melalui DPRD.
Berbicara konfigurasi politik tersebut, mengapa pemerintah
mengajukan opsi Pilkada melalui DPRD dapat dimaklumi, karena partai politik
penguasa pemerintahan yakni Partai Demokrat merupakan partai terbesar dengan
148 anggota dari 560 anggota.
Perdebatan mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah sebenarnya
hampir menemui titik temu, yaitu; pertama tetap dilakukan
pemilihan langsung; keduapelaksanaan dilakukan secara serentak
antara Pilkada Gubernur dan Pilkada Bupati/Walikota dalam rangka penghematan
anggaran dan memperjelas konfigurasi politik didaerah sehingga rakyat lebih
rasional dalam memilihnya.
Namun, perhelatan Pemilu Presiden 2014 dengan 2 (dua) calon pasangan,
berimbas pula pada konfigurasi politik setelah Pilpres. Koalisi Merah Putih
(KMP) yang terdiri Partai Gerindra, Partai Golkar, PPP, PAN dan PKS termasuk
juga Partai Demokrat (6 partai dengan jumlah 421 kursi DPR) pada 9 September
2014 bersepakat mendukung Pilkada melalui DPRD. Sementara Koalisi penyokong
Calon Presiden-Wakil Presiden Jokowi JK yang terdiri dari PDIP, PKB dan Partai
Hanura (3 partai degan jumlah 139 kursi DPR) mendukug Pilkada langsung.
Polarisasi konfigurasi politik tersebut merupakan konsekuensi sistem
multipartai yang dianut di Indonesia, dimana partai-partai politik sangat cair
dalam ideologi dan dalam penentuan dukungan politik. Hal ini tidak hanya
berpengaruh pada dinamika RUU Pilkada, tetapi juga berpengaruh pada RUU MD3 yang
telah dibahas sebelumnya.
Terakhir, 19 September 2014 kemarin, Fraksi Partai Demokrat balik
badan mendukung Pilkada Langsung, sehingga mengubah konfigurasi politik yang
pro Pilkada langsung menjadi 4 partai dengan 287 kursi di DPR, dan yang pro
Pilkada melalui DPRD menjadi 5 partai dengan 273 kursi di DPR.
4.
Perspektif
Perkembangan Demokrasi
Apabila kita mempelajari mengenai demokrasi sebagai
pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat dari awal mula zaman
Yunani Kuno sampai dengan zaman sekarang (modern dan postmodernisme), maka kita
akan menemui uniknya perkembangan demokrasi.
Pada awalnya demokrasi di Yunani Kuno masih
bersifat polis-polis atau the Greek Stateyaitu
pada mula pertamanya merupakan suatu tempat dipuncak suatu bukit. Lama kelamaan
orang-orang banyak yang tinggal di tempat itu dengan jalan mendirikan tempat
tinggal bersama, berupa rumah-rumah dan kemudian tempat tersebut dikelilinginya
dengan suatu benteng tembok untuk menjaga serangan dari luar.
Pemerintahan dalam polis merupakan hal yang tinggi, karena di atas
polis tidak ada lagi suatu organisasi kekuasaan lain yang menguasai dan
memerintah polis itu. Inilah letak keistimewaan dari polis. Organisasi yang
mengatur hubungan antar orang se-polis itu tidaklah hanya mempersoalkan
hubungan organisasinya saja melainkan juga mempersoalkan mengenai hidup
kepribadian orang-orang yang hidup disekitarnya. Oleh karena itu terdapat
campur tangan organisasi yang mengatur polis. Karena polis disamakan (identik) dengan
masyarakat negara atau negara, maka polis merupakan negara kota (standstaat atau citystate).
Sehubungan dengan itu, dikalangan pemerintahan lazimnya berwujud
demokrasi langsung atau direct democracy, rakyat di dalam
polis ikut serta secara langsung menentukan beleid kebijaksanaan pemerintah
atau adanya direct government by all the people.
JAKARTA – Gejolak penolakan secara luas seketika muncul pasca pengesahan UU
Pilkada oleh DPR Jumat dini hari (26/9). Gelombang elemen masyarakat yang
berancang-ancang mengajukan gugatan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi
(MK), khususnya soal pilkada lewat DPRD, pun terus bermunculan. Kelompok
masyarakat yang tergabung dalam Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi
(Perludem) segera menyiapkan permohonan uji materi. Mereka menilai sistem
pilkada lewat DPRD malah merusak demokrasi. ’’Kami pasti lakukan judicial
review ke MK setelah
tuntasnya administrasi UU tersebut,’’ tegas Direktur Eksekutif Perludem Titi
Anggraini (26/9). Dia menyatakan, pihaknya tidak sendirian mengajukan judicial
review tersebut.
Setidaknya 30 lembaga akan bergabung. ’’Saat ini demokrasi secara resmi mundur
ke belakang. Rakyat kehilangan hak dasar mereka dalam pemilihan kepala
daerah,’’ ujarnya. Pihak lain yang juga sudah bersiap-siap adalah advokat Andi
Asrun. Rencananya, Senin (26/9) dia mengajukan gugatan terhadap UU Pilkada.
Senada dengan Titi, Andi juga menuturkan, pengembalian pilkada
kepada DPRD sebagaimana diatur dalam UU Pilkada telah mengkhianati rakyat. Hak
rakyat untuk memilih kepala daerah menjadi hilang. ’’Apalagi ini menyuburkan
politik uang di DPRD. Karena itulah, UU tersebut harus digugat,’’ ungkapnya.
Soal legal standing-nya, dia
menjelaskan, pihaknya mewakili 17 organisasi buruh harian, lembaga survei, dan
sejumlah bupati. Banyak elemen masyarakat yang memang tidak setuju dengan
pilkada tidak langsung. ’’Warga negara yang hak pilihnya dihilangkan tentu
sudah memenuhi kedudukan hukum,’’ terangnya.
Bukti apa saja yang akan dibawa ke MK? Dia menuturkan, pihaknya bakal
membawa dokumen UU Pilkada, risalah rapat paripurna DPR, serta sejumlah
pendapat ahli mengenai pilkada tidak langsung. ’’Saya yakin MK berpihak kepada
rakyat,’’ tegasnya.
Di bagian lain, saat dikonfirmasi, Ketua MK Hamdan Zoelva
menuturkan, pihaknya akan memproses setiap undang-undang yang masuk ke MK.
Untuk UU Pilkada tersebut, dia menyatakan tidak ada persiapan khusus karena
hampir sama dengan perkara pengujian UU lainnya. ’’Sama semuanya kok,’’ ujarnya
melalui pesan singkat.
Sementara itu, atas munculnya gelombang penolakan di tengah publik
tersebut, PDIP sudah menduga. Wakil Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto
menjelaskan, pihaknya sejak awal yakin bakal ada warga yang bergerak melawan
pengesahan UU Pilkada. Karena itu, PDIP akan men-support penuh.
’’Masyarakat bergerak, kami bertugas mengorganisasi,’’ terangnya.
Menurut dia, fenomena tersebut muncul karena rakyat merasa ada
kekuatan kekuasaan yang berlebihan dan ingin melupakan mereka. ’’Tentu yang
seperti itu akan berhadapan dengan rakyat,’’ tegasnya di Rumah Transisi.
Deputi Tim Transisi itu juga menyayangkan sikap Partai Demokrat yang
memutuskan walk out dalam pengambilan keputusan penting
seperti itu. Apalagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) justru pergi ke
luar negeri saat bangsanya mengalami perubahan sejarah yang begitu penting.
’’Yang jelas, apa yang terjadi tadi malam tidak menyurutkan langkah PDIP,’’
ujarnya.
Dalam pengambilan keputusan RUU pilkada, keputusan walkout Partai Demokrat itulah yang kemudian
memastikan kemenangan kubu pengusung pilkada lewat DPRD. Meski mengajukan 10
syarat yang harus masuk tanpa terkecuali dalam undang-undang, partai besutan
SBY tersebut termasuk mendukung pilkada langsung.
Pasca walkout Demokrat, perbandingan
suara antara pendukung pilkada oleh DPRD dan pilkada langsung menjadi tidak
seimbang ketika divoting. Didukung mayoritas anggota Fraksi Partai Golkar, PKS,
Partai Gerindra, PAN, dan PPP, total dukungan bagi pilkada lewat DPRD mencapai
226 suara. Jauh melebihi pendukung pilkada langsung (PDIP, PKB, dan Partai
Hanura) yang memiliki 135 suara.
Wapres terpilih Jusuf Kalla juga termasuk yang sangat menyayangkan
pengesahan pilkada tidak langsung tersebut. Lebih-lebih soal walkout Partai Demokrat. ’’Biar masyarakat
yang menilai sikap seperti itu,’’ katanya.
Lalu, apakah Partai Demokrat akan diterima jika ingin bergabung
dengan kubu Jokowi-JK? Dia tidak menjawab dengan jelas. Menurut JK, pihaknya
tentu akan melihat sesuai dengan kondisi. ’’Saya kira akan berbeda lah,’’
ujarnya.
Sementara itu, pihak pendukung pilkada oleh DPRD yakin penolakan
terhadap UU Pilkada hanya berasal dari segelintir kelompok masyarakat. Terutama
dari pihak-pihak yang kepentingannya terganggu atas adanya UU tersebut. Sekjen
DPP PPP M. Romahurmuziy mencontohkan, salah satu pihak yang dirugikan adalah
para konsultan politik dan lembaga survei. ’’Mereka akan mengalami kiamat sugro atau kiamat kecil,’’ ungkapnya.
Dia menambahkan, demokrasi prosedural melalui survei politik tidak
akan lagi bisa dilakukan. Selama ini, beber dia, lembaga survei sering
bermain-main dengan popularitas dan elektabilitas kandidat calon. Karena itu,
calon yang benar-benar memiliki kapasitas dan integritas serta aspek lainnya
yang dibutuhkan sebagai pemimpin sejati akhirnya kalah oleh faktor popularitas
dan elektabilitas tersebut.
’’Kami yakin publik akan mendukung, meski juga tidak menafikan bahwa
ada yang belum setuju. Tapi, itu nanti terjawab oleh waktu,’’ tegasnya.
KPU
Di bagian lain, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menjadi lembaga
yang paling terdampak atas pengesahan UU Pilkada. Pekerjaan penyelenggara
pemilu itu diprediksi berkurang. Mereka hanya akan menyelenggarakan pileg dan
pilpres.
Dikonfirmasi soal tersebut, Ketua KPU Husni Kamil Manik justru
bersikap pasrah. Dia menuturkan, pihaknya akan menunggu sampai UU Pilkada
tersebut terbit. ’’Posisi kami masih menunggu,’’ katanya.
Lalu, bagaimana posisi KPU jika pilkada digelar secara tidak
langsung? Husni menyatakan, seharusnya hal itu ditanyakan kepada DPR. KPU belum
mengetahui apa-apa mengenai masalah tersebut. ’’Setelah terbit, baru bisa
komentar,’’ tuturnya.
Di gedung KPK, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menyampaikan
pandangan lembaganya atas hasil rapat paripurna. Menurut dia, justru lebih
banyak mudaratnya jika pilkada dilaksanakan lewat DPRD. Tentu saja hal itu
dilihat dari kewenangan KPK dalam menangani kasus korupsi. ’’Itu analisis yang
didapat,’’ katanya.
Mantan advokat tersebut menjelaskan, tidak ada jaminan pemilihan
lewat DPRD tanpa transaksi. Apalagi kalau berkaca pada tingginya kasus yang
dihadapi anggota parlemen di pusat maupun daerah. Menurut data Ditjen Otonomi
Daerah, ada 3 ribu wakil rakyat yang berurusan dengan hukum. Kepala daerah yang
bersalah mencapai 290-an dengan 51 perkara di antaranya ditangani KPK. Nah,
kalau DPRD yang memiliki banyak kasus menjadi pemilih, kualitas yang dipilih
tentu mengkhawatirkan. ’’Diduga, ada konsesi-konsesi, tukar-menukar
kepentingan,’’ jelasnya.
Pria yang akrab disapa BW itu lantas memberikan contoh. Dalam
pilkada langsung, transaksi uang umumnya terjadi di masyarakat. Itu pun
angkanya kecil dan bertujuan untuk membeli suara. Jika pilkada dilakukan DPRD,
nilai transaksinya jauh lebih besar. ’’Transaksinya besar dan sistemik.
Periodenya juga lima tahun. Kalau ke rakyat, paling cuma sekali,’’ jelasnya.
Sebenarnya, lanjut BW, KPK pernah menyampaikan pandangan saat
bertemu unsur pimpinan DPR. Yakni, soal potensi-potensi atau lubang terjadinya
tindak pidana dalam pilkada. Namun, tampaknya, hasil perbincangan tersebut
tidak terlalu didengar. Buktinya, sampai saat ini DPR tidak fair terhadap KPK.
’’Kalau KPK diminta terlibat lebih jauh dalam pilkada, buka itu
perwakilan KPK. Enggak fairkalau KPK diminta,
tapi enggak dibuka jalannya,’’ tegasnya. Akibatnya, lembaga pimpinan Abraham
Samad itu selama ini hanya berusaha membangun sistem.
Empat Wilayah
Mekanisme UU Pilkada melalui DPRD merupakan aturan yang bersifat lex
generalis. Yaitu, aturan yang bersifat umum berlaku di semua
wilayah di Indonesia. Namun, mekanisme lex generalis tidak berlaku terhadap daerah yang memiliki
aturan lex specialis, yakni
aturan bagi daerah otonom yang ditetapkan dalam sebuah UU khusus.
Dari poin itu, tercatat empat wilayah di Indonesia tidak akan
terdampak UU Pilkada. DKI Jakarta yang menyandang status daerah khusus ibu kota
merupakan salah satu wilayah yang tidak terdampak pilkada lewat DPRD. UU Nomor
29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Jakarta mengatur pemilihan
gubernur (pilgub) dilakukan secara langsung. Pasal 10 menyebutkan, DKI Jakarta
dipimpin oleh seorang gubernur yang dibantu seorang wakil gubernur yang dipilih
secara langsung melalui pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Sebelum DKI, Nanggroe Aceh Darussalam juga memiliki mekanisme
pilkada yang spesifik. Pemilihan langsung di Aceh dilakukan Komisi Independen
Pemilihan sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 2006. Untuk pilgub, prosesnya
dilakukan melalui suatu proses demokratis berdasar asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil.
Wilayah lain yang memiliki mekanisme khusus penetapan kepala daerah
adalah Daerah Istimewa Jogjakarta. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang
Keistimewaan Daerah Istimewa Jogjakarta mengatur posisi gubernur dan wakil
gubernur Jogjakarta melalui penetapan. Pasal 18 ayat c menyebutkan, posisi
gubernur langsung dijabat raja Jogja, yakni Sri Sultan Hamengkubuwono, dan
wakil gubernur dijabat Adipati Paku Alam.
Provinsi Papua juga memiliki undang-undang tersendiri dalam proses
pemilihan kepala daerah. UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua
menyebutkan, gubernur diusulkan dan dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Papua
(DPRP). Kemudian, mekanisme itu diubah melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2008 yang
sudah ditetapkan menjadi UU Nomor 35 Tahun 2008. Perppu itu menyatakan bahwa
gubernur dipilih melalui pemilihan
DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. Kaelan, m.s. 2000. Pendidikan Pancasila, Paradigma,
Yogyakarta.
Kansil, C.S.T.1971. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Jakarta: Pradnya
Paramita.
Suwarno, P.J. 1993. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
http://www.scribd.com/doc/46635688/DINAMIKA-PELAKSANAAN-UUD-1945
Tidak ada komentar:
Posting Komentar